Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

"KASIH SAYANG"

Kata Nabi saw.: “Man la yarham la yurham”. Siapa yang tidak menyayangi, ia tak akan disayangi. Rasa kasih sayang itu merupakan suatu perwujudan dari naluri mempertahankan jenis, yang juga adalah energi yang mampu menciptakan manusia menjadi seorang yang berhati lembut dan mengutamakan sesuatu yang dicintainya. Berkorban adalah salah satu bukti kecintaannya.
Dalam sebuah riwayat, “Seorang perempuan miskin datang menemuiku,” kata Aisyah r.a., “Ia membawa dua orang anak perempuan. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha merebutnya, sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, perempuan itu tidak makan kurma satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku perempuan itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Ia bersabda: “Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.” (HR Bukhari, Muslim, dan Turmudzi)
Itu sebabnya, Islam sebagai agama yang membawa misi ‘rahmatan lil ‘alamin’ , mewajibkan orangtua untuk mengekspresikan kasih sayang mereka kepada keluarganya. “Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang paling penyayang kepada keluarganya,” kata Rasulullah saw.. Dalam al-Quran, memelihara kasih sayang dalam keluarga merupakan perintah yang sangat ditekankan: “Bertakwalah kamu kepada Allah, tempat kamu saling bermohon, dan peliharalah kasih sayang dalam keluarga.” (QS an-Nisaa [4]: 1)
Namun, akhir-akhir ini rasa kasih sayang ibarat barang mahal yang sulit dicari. Sampai-sampai, rasa sayang orangtua kepada anaknya sudah mulai pudar dikikis persoalan-persoalan karir dan bisnis. Sehingga anak tumbuh dalam keadaan tanpa kasih sayang. Anak hanya dimanja dengan uang dan cukup dititipkan kepada pengasuh anak yang notabene sangat berbeda dalam mengkomunikasikan rasa kasih sayang ibu kepada anak kandungnya. Mengelupasnya rasa kasih sayang orangtua kepada anaknya, yang secara tidak langsung telah mengantarkan anak belajar sendiri tentang kehidupannya. Lepas kontrol dan cenderung destruktif.
Sehingga wajar bila akhirnya kita bisa menyaksikan anak-anak yang cenderung tak mau diatur oleh orang tuanya sendiri. Bergaul dengan teman-teman sesama pengguna narkotika, seks bebas dan perilaku-perilaku tak layak lainnya. Tak berlebihan jika kemudian dicap sebagai generasi amburadul.
Kasih sayang yang berhasil diwujudkan oleh Rasulullah saw. adalah mengubah kondisi masyarakat yang amburadul menjadi masyarakat yang beradab. Masyarakat yang dibalut dengan rasa kasih sayang yang berhasil tercipta dari proses keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. Islam datang dengan serangkaian aturan yang menyelamatkan manusia dari keterpurukan kondisi jahiliyah. Kasih sayang Islam untuk manusia sangat besar pengaruhnya. Mengubah manusia durhaka menjadi ahli ibadah, membawa manusia sombong menjadi tawadhu.
Dalam al-Quran Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak berbuat dzalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat dzalim kepada diri mereka sendiri”. (QS Yunus [10]: 44)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Post Icon

Keutamaan Ahli Ilmu

Seorang ulama besar di kalangan tabi’in sekaligus muhaddits bernama Imam Ayub Kaysan as-Sakhtiyani al-Bashri (w 131 H), sebagaimana pernah dituturkan oleh muridnya, Hammad bin Zaid mengisahkan, suatu saat pernah ditanya, “Ilmu hari ini lebih banyak atau lebih sedikit?” Ia menjawab,  “Hari ini obrolan lebih banyak! Adapun sebelum sebelum hari ini, ilmu lebih banyak.” (Al-Hafidz al-Fasawi, Al-Ma’rifah wa at-Tarikh, II/232).
Jika pada masa tabi’in saja Imam Ayub menilai bahwa obrolan lebih banyak daripada ilmu, bagaimana dengan zaman ini? Jawabannya sudah sama-sama diketahui hanya dengan melihat realitas keseharian saat ini. Hari ini, misalnya, majelis-majelis ilmu selalu lebih sedikit daripada ‘majelis-majelis’ hiburan dan permainan, warung-warung kopi sekaligus tempat-tempat ngerumpi, tempat-tempat nongkrong di pinggir-pinggir jalan atau di mal-mal, dll. Orang-orang yang hadir di majelis-majelis ilmu pun selalu lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang hadir di tempat-tempat keramaian lainnya, seperti di panggung-panggung hiburan yang menampilkan para musisi dan artis idola. Wajarlah jika pada hari ini jumlah umat Islam yang awam atau bodoh terhadap agamanya selalu jauh lebih banyak daripada orang-orang alimnya. Padahal kebanyakan mereka tahu bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim, sama seperti kewajiban individual lainnya seperti shalat, shaum Ramadhan, dll. Nabi Muhammad SAW  bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim.” (HR  Ibnu  Majah dari Anas ra).
Bahkan dalam sejarah, tidak ditemukan suatu agama yang mendorong pemeluknya untuk mencari ilmu—bahkan sejak dini—kecuali agama Islam. Karena itulah, dalam lintasan sejarah ribuan orang telah menjadi ulama justru saat anak-anak. Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, misalnya, Ibnu Abbas ra telah hafal Alquran pada usia 10 tahun. Imam Syafi’i telah hafal Alquran pada usia 7 tahun dan telah mampu berfatwa dalam usia 15 tahun. Imam al-Bukhari mulai menghafal hadits ketika duduk di bangku madrasah dan mengarang kitab At-Tarikh pada usia 18  tahun.
Islam pun mengajari kita bagaimana seharusnya kita memilih guru yang baik. Sebab, guru adalah cermin yang dilihat oleh anak sehingga akan membekas di dalam jiwa dan pikiran mereka. Guru adalah sumber pengambilan ilmu. Para sahabat dan salafus shalih sangat serius di dalam memilih guru yang baik bagi anak-anak mereka. Imam Mawardi menegaskan urgensi memilih  guru yang baik dengan mengatakan, “Memang wajib bersungguh-sungguh di dalam memilihkan guru dan pendidik bagi anak, seperti kesungguhan di dalam memilihkan ibu dan ibu susuan baginya, bahkan lebih dari itu. Seorang anak akan mengambil akhlak, gerak-gerik, adab dan kebiasaan dari gurunya melebihi yang diambil dari orang tuanya sendiri…” (Nasihah al-Muluk, h. 172).
Karena itulah Islam pun mengajari kita untuk memuliakan para ulama. Abu Umamah ra menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ada tiga orang dimana tidak ada yang meremehkan mereka kecuali orang itu munafik. Mereka adalah orang tua, ulama dan pemimpin yang adil.” (HR ath-Thabrani).
Hal ini wajar karena ulama adalah pewaris para nabi. Tentang keutamaan para ulama, Allah SWT pun berfirman (yang artinya): Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat (TQS al-Mujadalah [58]: 11).
Selain itu, Imam al-Ghazali menukil perkataan Yahya bin Mu’adz mengenai keutamaan ulama, “Para ulama  itu lebih sayang kepada umat Muhammad saw. dari pada ayah dan ibu mereka sendiri.” Ditanyakalah kepadanya, “Mengapa bisa demikian?” Ia  menjawab, “Karena para  ayah dan ibu itu hanya menjaga anak-anak mereka dari neraka dunia, sedangkan para ulama itu menjaga mereka dari neraka akhirat.” (Ihya’ ‘Ulum ad-Din, I/11).
Karena itu memuliakan ulama, menghormati dan merendahkan diri kepada  mereka, bersikap santun dan lembut di dalam bergaul dengan mereka, semua itu merupakan adab terhadap  ulama yang harus dibiasakan sejak kanak-kanak.
Abu Umamah ra juga menuturkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Luqman berkata kepada putranya, ‘Anakku, engkau harus duduk dekat pada ulama. Dengarkanlah perkataan para ahli hikmah, karena sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang  mati dengan hujan deras.”  (HR Ath-Thabrani).
Selain merupakan kewajiban, yang pasti menuntut ilmu akan memudahkan jalan bagi pencarinya untuk menuju surga, sebagaimana sabda Nabi SAW. “Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalan bagi dirinya menuju surga.” (HR Muslim dan at-Tirmidzi).
Tentu saja, jika ilmu itu benar-benar diamalkan dalam kehidupan. Sebab, sebagaimana kata Imam al-Ghazali pula, “Meski engkau telah mengkaji ilmu seratus tahun dan telah memiliki seribu buku, engkau belumlah siap untuk memperoleh rahmat Allah, kecuali dengan mengamalkannya. Ini sebagaimana firman Allah SWT (yang artinya): Sesungguhnya tidaklah bermanfaat bagi manusia kecuali apa yang telah ia usahakan (TQS an-Najm: 49)”. (Ayuhal Walad, hlm. 21).
Wallahu a’lam. [] abi
Sumber: Mediaumat.com (3/5)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Post Icon

Hukum Wanita yang Keluar ke Medan Pertempuran dan Hubungan Daulah Islamiyah dengan Negara-Negara Muhariban Fi’lan

Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum, saudaraku, syaik-ku dan amirku Atha’.

  1. Dalam diskusi antara saya dengan salah seorang syabab, kami berbeda pendapat tentang topik wanita di dalam perang, apakah diberlakukan pada mereka hukum wanita yang keluar ke medan perang untuk menyemangati pasukan atau diberlakukan atas mereka hukum tawanan. Perlu diketahui bahwa di antara mereka hari ini ada yang berperang sebagaimana laki-laki, menyandang senjata dan menjadi pilot tempur, penembak dan angkatan laut …
  2. Di Masyrû’ ad-Dustûr Daulah al-Khilâfah pada pasal 188 ayat 4 dinyatakan sebagai berikut: “ … negara-negara muhariban fi’lan seperti Israel misalnya, wajib dengannya diambil kondisi perang sebagai asas untuk semua tindakan dan perlakuan, seolah-olah kita dan mereka sedang dalam perang riil; baik di antara kita dengan mereka ada gencatan senjata atau tidak, dan seluruh rakyatnya dilarang masuk ke negeri …”. Saya merujuk ke Muqaddimah ad-Dustûr dan saya tidak menemukan perincian ayat empat pada pasal ini. Pertanyaannya apakah daulah al-Khilafah boleh mengikat gencatan senjata dengan negara Yahudi sementara negara Yahudi itu mencaplok wilayah daulah al-khilafah …

Jawaban:
Wa ‘alaikum as-salam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama, benar, hukum terkait wanita yang keluar ke medan pertempuran, baik apakah untuk menyemangati tentara atau untuk berperang bersama tentara, hukumnya adalah sama. Namun wanita yang keluar ke medan pertempuran untuk menyemangati tentara tidak boleh dibunuh. Sedangkan wanita yang berperang maka boleh dibunuh. Hal itu seperti yang ada di dalam hadits Muttafaq ‘alayh dari nafi’, bahwa Abdullah ra. Telah memberitahunya:
أَنَّ امْرَأَةً وُجِدَتْ فِي بَعْضِ مَغَازِي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَقْتُولَةً، «فَأَنْكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَتْلَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ»
bahwa seorang wanita ditemukan di beberapa peperangan Nabi SAW terbunuh. Maka Rasulullah SAW mengingkari pembunuhan wanita dan anak-anak.
Demikian juga apa yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam hadits shahih dari Umar bin al-Muraqqa’ bin Shayfiy bin Rabah, ia berkata: telah menceritakan kepadaku bapakku, dari kakeknya Rabah bin Rabi’, ia berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةٍ فَرَأَى النَّاسَ مُجْتَمِعِينَ عَلَى شَيْءٍ فَبَعَثَ رَجُلًا، فَقَالَ: «انْظُرْ عَلَامَ اجْتَمَعَ هَؤُلَاءِ؟» فَجَاءَ فَقَالَ: عَلَى امْرَأَةٍ قَتِيلٍ. فَقَالَ: «مَا كَانَتْ هَذِهِ لِتُقَاتِلَ»
kami bersama Rasulullah SAW dalam peperangan lalu beliau melihat orang-orang berkumpul atas sesuatu, maka beliau mengutus seorang laki-laki dan berkata: “lihatlah atas apa mereka berkumpul?” Maka laki-laki itu datang dan berkata: “atas seorang wanita yang terbunuh”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “selama wanita ini berperang”.
Mafhumnya seandainya ia berperang maka boleh ia dibunuh.
Ini adalah perbedaannya. Adapun hukum-hukum selain itu maka tidak ada perbedaan antara orang yang keluar ke medan pertempuran untuk menyemangati tentara atau untuk berperang bersama mereka.
Ini semua jika wanita keluar ke medan pertempuran. Adapun jika wanita itu tetap berada di dalam rumahnya tanpa keluar ke medan pertempuran maka tidak ada apa-apa atas mereka.
Dalam seluruh kondisi, penerapan hukum-hukum syara’ atas para wanita itu kembali kepada khalifah. Bukan kembali kepada komandan medan. Khalifah bertindak mengikuti politik perang yang diharuskan dalam memperlakukan musuh. Itu adalah muamalah di antara muamalah perang yang urusannya diserahkan kepada khalifah. Khalifah boleh bertindak sesuai pendapatnya dan apa yang diharuskan terkait musuh sesuai hukum-hukum syara’. Sedangkan hukum tawanan perang, maka itu berlaku atas laki-laki yang berperang. Sebab kata asîr jika dimutlakkan, maka kembali kepada laki-laki yang berperang. Hukum tawanan perang ini sudah dijelaskan di dalam surat Muhammad SAW:
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. (TQS Muhammad [47]: 4)

Yakni adakalanya dibebaskan “manan” dan adakalanya ditebus dengan harta atau dengan tawanan semisal mereka dari kaum Muslimin atau ahlu adz-dzimmah, dan tidak boleh selain itu.

Kedua, hubungan Daulah Islamiyah dengan negara-negara muhariban fi’lan:
  1. Tampaknya Anda masih merujuk kepada cetakan lama dari Muqaddimah di mana Anda sebutkan bahwa pasal itu yaitu pasal 188. Perlu diketahui pasal itu di cetakan muktamadah yang dikeluarkan tahun 1431 H – 2010 M nomor pasalnya pasal 189. Dan masalah yang lain, pada cetakan lama pasal tersebut tidak dirinci. Dan yang saya maksudkan adalah topik gencatan senjata dalam kondisi perang riil. Sedangkan di cetakan muktamadah yang baru, topik itu telah dirinci. Kami jelaskan di situ bahwa gencatan senjata permanen tidak boleh, sebab itu mengabaikan jihad. Sedangkan gencatan senjata temporer boleh dilakukan dengan negara-negara kafir yang entitasnya tegak di wilayahnya, yang belum ditaklukkan oleh kaum Muslimin sama sekali. Dalilnya adalah perjanjian Hudaibiyah dengan Quraisy yang berada di wilayah yang belum ditaklukkan oleh kaum Muslimin.
Adapun entitas yang tegak di atas wilayah islami yang diduduki, maka tidak boleh mengikat perjanjian damai dengannya baik permanen atau temporer. Terhadapnya tidak diberlakukan perjanjian Hudaibiyah dengan Quraisy, sebab faktanya berbeda. Quraisy itu entitasnya tegak di wilayah milik Quraisy yang belum ditaklukkan oleh kaum Muslimin. Sedangkan negara Yahudi, entitasnya tegak di wilayah yang dirampasnya dari kaum Muslimin. Jadi faktanya berbeda, sehingga tidak diterapkan atas entitas ini perjanjian Hudaibiyah. Wajib atasnya diteruskan kondisi perang riil, baik di sana ada gencatan senjata yang dibuat oleh para penguasa yang tidak syar’iy di negeri-negeri kaum Muslimin ataukah tidak. Hal itu hingga entitas perampas itu dilenyapkan dan wilayah yang dirampasnya dikembalikan kepada pemiliknya.
وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (TQS al-Baqarah [2]: 191)
Sebab, melakukan gencatan senjata dengan entitas Yahudi perampas, berarti pengakuan terhadapnya, yaitu pemberian konsesi kepadanya atas wilayah yang dirampasnya. Ini secara syar’iy tidak boleh, dan merupakan kejahatan besar yang dosanya akan memberatkan orang yang melakukannya.
Dan topik tersebut tela dirinci dengan lengkap di Muqaddimah.

Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
16 Sya’ban 1434
25 Juni 2013

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/06/29/jawab-soal-hukum-wanita-ke-medan-perang-dan-hubungan-dengan-negara-muhariban-filan/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Post Icon

Sekilas tentang Aisyah ra

Aishah bint Abi Bakr

Kisah hidup Saidatina Aisyah r.a. telah membuktikan bahwa wanita mampu menguasai bidang keilmuan mengatasi kaum lelaki serta mampu menjadi pendidik kepada para ilmuan dan pakar-pakar pelbagai bidang. Kehidupan beliau juga menjadi bukti kemampuan wanita dalam mempengaruhi pandangan masyarakat, baik lelaki mahupun perempuan, serta membekalkan sumber inspirasi and kepimpinan yang mantap. Wanita yang kaya dengan pekerti tinggi,lemah lembut serta sopan santun ini juga telah membawa kebahagiaan dan ketenangan hati yang tidak putus kepada suaminya.
Saidatina Aisyah r.a. bukan seorang graduan dari mana-mana universiti memandangkan belum wujud lagi institusi sedemikian pada ketika hayat beliau seperti yang ada sekarang. Namun begitu, lafaz ucapan beliau menjadi bahan kajian dalam bidang sastera, fatwa- fatwa syariah yang beliau keluarkan dikaji di institusi-instusi perundangan, hidup dan hasil pengkajian beliau diteliti oleh para mahasiswa dan pendidik dalam pengkajian sejarah Islam sejak seribu tahun yang lalu.
Khazanah pengetahuan yang dimiliki Saidatina Aisyah r.a. diperoleh sejak beliau masih seorang kanak-kanak. Pada usia mudanya, Aisyah r.a. dibesarkan oleh bapanya, seorang Muslim yang dihormati dan disegani ramai lantaran ketinggian ilmunya, kelembutan budi pekertinya serta peribadinya yang disegangi ramai. Tambahan pula, beliau sahabat yang paling rapat dengan Rasulullah s.a.w. serta merupakan pengunjung setia ke rumah Rasulullah s.a.w. sejak zaman awal kerasulan baginda.
Semenjak beliau muda, Aisyah r.a. yang terkenal dengan paras rupanya yang menawan serta daya ingatan yang kuat, diletakkan di bawah jagaan Rasulullah s.a.w. sendiri. Sebagai isteri serta pendamping baginda Rasulullah, Aisyah r.a. berpeluang menimba ilmu pengetahuan dari baginda sehingga ke tahap yang tidak mungkin ditandingi oleh wanita-wanita lain.
Aisyah r.a. menjadi isteri Rasulullah s.a.w. di Mekah di sekitar usia beliau mencecah sepuluh tahun, namun hanya mula menjalankan tanggungjawab sebagai seorang isteri setelah tahun kedua Hijrah, iaitu ketika usia beliau sekitar empatbelas hingga limabelas tahun. Pada waktu sebelum dan selepas pernikahan beliau, Aisyah r.a. tetap mempamerkan kegirangan serta sifat semulajadi seorang kanak-kanak. Beliau seidkit pun tidak teruja dengan statusnya sebagai isteri kepada seorang Nabi Allah yang begitu disanjungi dan dikasihi oleh para sahabat. Ini termasuklah kedua ibubapa Aisyah sendiri yang menumpukan sepenuh kasih saying serta hormat mereka kepada Rasulullah s.a.w. berbanding orang lain.
Berkenaan pernikahan beliau kepada Rasulullah s.a.w., Aisyah r.a. menceritakan, sejurus sebelum beliau ditetapkan meninggalkan rumahnya, beliau telah keluar ke halaman rumah untuk bermain-main dengan rakannya yang sedang berlalu di situ:“Aku sendang bermain di atas jungkang-jungkit dan rambutku yang panjang telah menjadi kusut” kata beliau. “Mereka datang mendapatkan ku dari permainan ku lalu menyiapkan ku.”

Saidatina Aisyah r.a. dipakaikan pakaian pengantinnya yang diperbuat dari sutera halus berjalur merah dari Bahrain. Seterusnya beliau dibawa oleh ibunya ke rumahnya yang baru siap dibina serta disambut oleh wanita-wanita Ansar di muka pintu. Mereka manyambutnya dengan ucapan “Demi kebaikan dan kebahagiaan dan semoga diiringi kesenangan.” Dalam kehadiran baginda Rasulullah yang sedang tersenyum lembut, semangkuk susu dibawa kepada mereka. Rasulullah s.a.w. minum darinya lalu memberikan susu itu kepada Aisyah. Aisyah dengan segan silu menolak pelawaan Rasulullah itu. Namun apabila Rasulullah sekali lagi menyuruh Aisyah minum dari semangkuk susu itu, Aisyah pun berbuat demikian. Seterusnya mangkuk itu diberikan kepada kakak beliau, Asma, yang berada di sisinya serta diedarkan kepada mereka yang hadir di situ. Itulah keraian yang menandai pernikahan baginda Rasulullah dengan saidatina Aisyah yang dijalankan dalam penuh kesederhanaan.

Status beliau sebagai isteri Rasulullah s.a.w. tidak merubah sifat riang Aisyah sebagai seorang kanak-kanak. Rakan-rakan beliau sering berkunjung ke rumah untuk bermain-main dengannya.

‘Sedang aku bermain dengan permainanku,’cerita Saidatina Aisyah r.a.,’bersamaku ada kawan-kawanku, dan datang baginda Rasulullah kepadaku, lalu mereka akan keluar meninggalkanku, akan tetapi Rasulullah keluar mendapatkan rakan-rakanku itu dan membawa mereka kembali kerana baginda senang denganku bermain dengan mereka.’ ‘Kadangkala baginda berkata, “Tinggal di situ, wahai Aisyah,” dan sebelum sempat rakan-rakanku meninggalkanku, baginda akan turut serta dalam permainan kami’. Kata Aisyah r.a. ‘Suatu hari, baginda Rasulullah datang ketika aku sedang bermain-main dengan anak patungku, dan baginda berkata, “Wahai Aisyah, permainan apakah ini?” “Inilah kuda-kuda Sulaiman,” kata ku dan baginda pun tertawa.’ Ada ketika apabila baginda pulang ketika Aisyah sedang bermain dengan rakan-rakannya, baginda Rasulullah akan berselindung di sebalik jubahnya agar tidak mengganggu Aisyah dan rakan-rakan beliau yang sedang bermain.

Detik-detik awal kehidupan Aisyah r.a. di Madinah turut melalui saat-saat yang mencabar. Pada suatu ketika, bapa beliau bersama dua orang sahabat yang tinggal bersamanya ketika itu telah diserang demam panas yang sering melanda Madinah pada musim-musim tertentu. Ketika Aisyah menziarahi bapanya, beliau terkejut melihat ketia-tiga orang lelaki itu sedang terlantar dalam keadaan tenat dan lemah. Aisyah bertanyakan khabar bapanya itu namun jawapan yang diberi bapa beliau tidak dapat difahami. Dua orang sahabat yang sedang tenat itu juga mengeluarkan baris-baris puisi yang difikirkan Aisyah hanyalah ratapan seorang yang sedang sakit tenat. Saidatina Aisyah berasa gusar lalu pulang menceritakan peristiwa itu kepada baginda Rasulullah s.a.w.:

‘Mereka maracau-racau, tidak keruan, disebabkan demam panas itu,’ Kemudian Rasulullah bertanya kepada Aisyah apa yang diperkatakan oleh bapanya serta dua orang sahabat yang sedang sakit tadi. Baginda berasa lega setelah Aisyah mengulangi setiap apa yang dikatakan oleh mereka walaupun kata-kata itu belum mampu difahami oleh Aisyah sendiri. Peristiwa ini menggambarkan daya ingatan Aisyah yang begitu kuat yang bakal memainkan peranan penting dalam meriwayatkan hadith-hadith baginda Rasulullah s.a.w.

Di kalangan isteri-isteri baginda di Madinah, Aisyah nyata sekali merupakan kesayangan Rasulullah s.a.w. Dari masa ke semasa, salah seorang sahabat baginda akan bertanya,:

‘Wahai Rasulullah, siapakah yang paling kau sayangi di dunia ini?’ Jawab baginda sering berbeza-beza kerana baginda begitu mengasihi anak-anak serta cucu-cucunya, sahabat baginda Abu Bakar, Ali, Zaid serta anak beliau Usamah. Namun di kalangan isteri baginda yand sering disebut hanyalah Aisyah. Aisyah sendiri begitu mengasihi baginda Rasulullah serta sering meminta kepastian tentang kasih baginda terhadapnya. Pernah suatu ketika Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah, ‘Bagaimanakah kasihmu terhadapku?’

‘Seperti ikatan simpulan tali,’ jawab baginda yang bermaksud kasihnya itu kuat dan kukuh. Lalu pada waktu-waktu seterusnya Saidatina Aisyah r.a. akan bertanya kepada Rasulullah, ‘Bagaimana keadaan simpulan itu?’ dan jawab baginda ‘Demi Allah, masih sama (kukuh)’.

Begitu kasihnya Aisyah kepada baginda Rasulullah sehinggakan lahir rasa cemburu dan tidak berpuas hati sekiranya perhatian Rasulullah dicurahkan kepada orang lain melebihi dirinya sendiri. Aisyah bertanya kepada baginda,:

‘Wahai Rasul Allah, katakan sendiri padaku. Sekiranya engkau berada di antara dua lembah, yang satunya tidak pernah diragut rumputnya sedangkan yang satu lagi sudah pernah diragut rumputnya, dimanakah akan engkau lepaskan ternakkanmu?’

‘Di lembah yang rumputnya belum pernah diragut,’ jawab Rasulullah. ‘Namun begitu,’kata beliau ‘aku tidaklah seperti isteri-isterimu yang lain. Setiap orang dari mereka pernah mempunyai suami yang lain sebelum mu kecuali diriku.’ Rasulullah hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Cerita Aisyah lagi tentang sikap cemburunya itu:

‘Aku tidak mencemburui isteri-isteri Rasulullah yang lain sebagaimana aku mencemburui Khadijah, disebabkan baginda sering menyebut-nyebut nama Khadijah serta telah diperintahkan Allah untuk menyampaikan berita gembira kepada Khadijah tentang mahligainya di syurga yang bertatahkan permata. Setiap kali baginda Rasulullah membuat sembelihan, pasti akan diberikan sebahagian daripada daging sembelihan itu kepada teman-teman rapat Khadijah. Berkali-kali pernah ku katakan kepada baginda, “Seolah-olah tidak pernah ada wanita lain di dunia in selain Khadijah,”

Pernah suatu ketika Aisyah mengadu tentang sikap Rasulullah yang begitu memandang tinggi terhadap ‘seorang wanita tua Quraisy’, baginda berasa tersinggung lalu berkata: ‘Dialah isteri yang mempercayai diriku sedangkan orang lain menafikan diriku. Sedangkan orang lain mendustai ku, dia meyakinkan kebenaranku. Sedang aku dipulaukan, dia membelanjakan segala harta kekayaannya untuk meringankan beban sengsara ku.’

Walaupun Aisyah memiliki sifat cemburu yang sebenarnya tidak membawa kepada keburukan, beliau sesungguhnya seorang yang amat pemurah dan penyabar. Beliau mengharungi kehidupan yang serba kekurangan bersama isteri-isteri Rasulullah yang lain. Beliau tidak betah hidup tanpa sesuap makanan pun dalam jangka waktu yang panjang. Berhari-hari lamanya dapur rumah beliau tidak berasap dan beliau hidup bersama Rasulullah di atas buah tamar dan air semata-mata. Hidupnya yang miskin tidak membawa sebarang tekanan atau memalukan Aisyah r.a.; hidup berdikari tidak mengganggu cara hidup beliau walau sedikit pun.

Pernah suatu ketika, Rasulullah telah memutuskan perhubungan dengan isteri-isteri baginda sehingga sebulan lamanya. Ini disebabkan mereka meminta sesuatu yang Rasulullah tidak mampu berikan. Peristiwa ini berlaku selepas peperangan di Khaibar dimana kemenangan umat Islam membawa harta rampasan serta membuahkan keinginan terhadap harta kekayaan. Setelah kembali dari beruzlah, baginda Rasulullah pertama sekali menuju ke rumah Aisyah. Beliau begitu gembira melihat baginda telah kembali, namun Rasulullah mengkhabarkan kepadanya tentang penerimaan wahyu yang menyuruh baginda memberikan Aisyah dua pilihan. Baginda seterusnya membacakan ayat :

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar.” (al-Ahzab 28-29)

Jawab Aisyah:

‘Sesungguhnya aku memilih Allah dan RasulNya dan kehidupan di akhirat,’ dan jawabnya itu disetujui isteri-isteri baginda yang lain.

Beliau setia terhadap pilihannya itu sepanjang hidupnya bersama Rasulullah dan begitu juga setelah kewafatan baginda. Apabila umat Islam dilimpahi harta kekayaan yang banyak, beliau pernah dihadiahkan seratus ribu dirham. Walaupun ketika itu beliau sedang berpuasa dan hidup dalam kekurangan, seluruh pemberian itu disedekahkan kepada fakir miskin. Sejurus selepas itu, seorang pembantu rumahnya bertanya, ‘Bolehkan engkau menggunakan satu dirham untuk membeli daging buat berbuka puasa?’

‘Jika aku terfikirkan hal ini tadi, pasti aku sudah melakukannya,’ jawab Aisyah r.a. Kasih sayang Rasulullah terhadap Aisyah berkekalan sehingga akhir hayat baginda. Ketika baginda sedang nazak, baginda telah pulang ke rumah Aisyah atas izinisteri-isteri baginda yang lain. Kebanyakan masa baginda hanya terlantar di katil dengan kepala baginda di atas pangkuan Aisyah. Saiditina Aisyah telah meminta kayu siwak dari abangnya (or adik lelaki?) serta mengunyah kayu siwak itu untuk melembutkannya lalu diberikan kepada Rasulullah. Walaupun sudah berkeadaan tenat, baginda menggosok gigi baginda dengan bersungguh-sungguh. Tidak lama kemudian, baginda jatuh pengsan dan tidak sedarkan diri dan Aisyah melihat itu adalah tanda-tanda ajal baginda telah sampai. Namun sejam kemudian, baginda kembali membuka mata.

Aisyahlah yang menyaksikan dan menyampaikan kisah saat-saat akhir sebelum kewafatan insan mulia ini, kekasih Allah moga dilimpahi rahmatNya.

Setelah baginda sedar kembali, Aisyah mengingati Izrail telah berkata kepadanya: ‘Tidak seorang Nabi itu diambil nyawanya melainkan dia telah ditunjukkan tempatnya di syurga serta diberikan pilihan samada untuk hidup atau mati,’

‘Baginda tidak akan memilih untuk bersama kita,’ kata Aisyah pada dirinya. Kemudian Aisyah terdengar baginda berkata, ‘Demi pertemuan agung di syurga, demi hamba-hambanya yang dilimpahi rahmatNya, para Nabi, para syuhada’ dan orang-orang yang beriman….’ Dan sekali lagi beliau terdengar baginda berkata ‘ya Tuhanku, demi pertemuan agung di syurga…’ Inilah kata-kata terakhir baginda yang didengar oleh Saidatina Aisyah r.a. Sedikit demi sedikit, kepala Rasulullah semakin berat di pangkuan Aisyah, sehinggalah sahabat-sahabat yang lain mula menitiskan air mata. Lalu Aisyah meletakkan kepala Rasulullah di atas bantal dan turut serta menangisi permergian baginda.

Di lantai rumah Aisyah, berhampiran tempat pembaringan Rasulullah ketika baginda sedang nazak, sebuah kubur digali dan di situlah bersemadi jasad penutup segala Nabi, di kala umatnya sedang dalam kegelisahan dan kesedihan yang mendalam.

Aisyah hidup selama hampir lima puluh tahun setelah kewafatan Rasulullah s.a.w. Sepuluh tahun hidup beliau sebagai isteri Rasululluah. Sebahagian besar waktu itu diluangkan dengan mempelajari dua sumber penting petunjuk Allah, iaitu al-Quran dan sunnah Rasulullah. Tiga orang daripada isteri-isteri Rasulullah yang menghafaz al-Quran, dan salah seorang daripadanya adalah Aisyah r.a.(di samping Ummu Salamah dan Hafsah). Seperti Hafsah, Aisyah juga mempunyai salinan al-Quran yang ditulis setelah kewafatan Rasulullah.

Berkenaan dengan hadith baginda Rasulullah, Aisyah merupakan salah seorang daripada empat orang sahabat (termasuk Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar dan Anas Ibn Malik) yang meriwayatkan lebih dua ribu hadith. Kebanyakan hadith-hadith ini berkaitan amalan-amalan peribadi Rasulullah yang hanya mampu diketahui oleh Aisyah r.a. Satu aspek penting berkenaan hadith yang diriwayatkan Aisyah ialah hadith-hadith tersebut disampaikan dalam bentuk tulisan oleh, antara lainnya, anak saudara beliau, Urwah ibn az-Zubair yang merupakan salah seorang ulama’ terkenal di kalangan tabi’in.

Ramai di kalangan sahabat Rasulullah dan pengikut-pengikut mereka yang menimba dari ilmu pengetahuan Aisyah r.a. Abu Musa al’Ashari pernah berkata: ‘Sekiranya kami di kalangan sahabat Rasulullah menghadapi kemusykilan, maka akan kami bawa kepada Saidatina Aisyah r.a.’

Urwah ibn az-Zubair menegaskan bahawa Aisyah bukan sahaja arif dalam bidang fiqh, bahkan juga dalam bidang tibb(perubatan) dan syair. Ramai di kalangan sahabat baginda Rasulullah turut merujuk kepada Aisyah berkenaan masalah pewarisan harta yang memerlukan kemahiran tinggi dalam bidang matematik. Para ulama menganggap Saidatina Aisyah sebagai salah seorang ahli fuqaha Islam terawal di samping Umar Ibn al-Khattab, Ali dan Abdullah ibn Abbas. Kata baginda Rasulullah tentang dalamnya pengetahuan Aisyah dalam Islam; ‘Pelajarilah sebahagian daripada agamamu dari al-Humaira’,’Al-Humaira, atau ‘si merah’ adalah nama panggilan Rasulullah kepada Saidatina Aisyah r.a.

Saidatina Aisyah r.a. bukan sahaja memiliki ketinggian ilmu pengetahuan, bahkan turut memainkan peranan penting dalam proses pendidikan dan pembentukan masyarakat ketika itu. Sebagai seorang guru, beliau memiliki lisan yang jelas dan menarik hati serta kelancaran bertutur kata beliau digambarkan dengan begitu tinggi oleh al-Ahnaf: ‘Aku pernah mendengar ucapan dari Abu Bakar dan Umar, dari Uthman dan Ali serta para khulafa’ hingga ke hari ini, tetapi belum pernah aku mendengar ucapan yang lebih indah dan lebih menarik hati dari mulut seorang pun melainkan Aisyah r.a.’

Manusia dari segenap pelusuk tanah Arab telah pergi menemui Aisyah untuk mempelajari ilmu yang dimilikinya. Dikatakan lebih ramai bilangan wanita daripada lelaki yang datang untuk menimba ilmu daripada beliau. Di samping menjelaskan kemusykilan orang ramai, beliau turut mengambil anak-anak kecil, ada di kalangan mereka yatim piatu, untuk dibesarkan dan dilatih di bawah bimbingannya sendiri. Di samping itu juga terdapat saudara-saudara beliau yang mendapat bimbingan yang sama. Dengan demikian, rumah Saidatina Aisyah r.a. dijadikan sekolah dan sebuah institusi pengajian.

Ada di kalangan anak-anak didikan Aisyah yang cemerlang di bawah pimpinan beliau. Sudah disebut sebelum ini tentang anak saudara lelaki beliau iaitu Urwah ibn az-Zubair sebagai salah seorang perawi hadith terkemuka. Di antara pelajar wanita didikan Aisyah ialah Umrah binti Abdur Rahman. Umrah dianggap oleh para ulama’ sebagai seorang perawi hadith yang thiqah dan dikatakan bertindak sebagai setiausaha Aisyah r.a dalam menerima dan menjawab surat-surat yang diterima Aisyah. Peranan Aisyah dalam menggerakkan proses pendidikan terutamanya bagi kaum wanita seharusnya dijadikan contoh ikutan.

Selepas Khadijah al-Kubra (yang hebat) dan Fatimah az-Zahra (yang menawan), Aisyah as-Siddiqah (yang membenarkan) dianggap sebagai wanita terbaik dalam Islam. Dari keteguhan peribadinya, beliau menjadi seorang pakar dalam setiap bidang pengetahuan, dalam masyarakat, politik bahkan peperangan. Beliau sering menyesali penglibatannya dalam peperangan namun dibarkahi dengan umur yang panjang berpeluang membetulkan kedudukannya sebagai wanita paling dihormati sewaktu hayatnya. Beliau kembali ke rahmatullah dalam bulan Ramadhan pada tahun kelima puluh lapan selepas Hijrah. Atas arahan beliau sendiri, jasadnya disemadikan di Jannat al-Baqi di Madinah al-Munawwarah, di kalangan sahabat baginda Rasulullah s.a.w.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS